Saat itu, pertengahan
bulan November 2012, aktifitas yang berlangsung
pagi hingga siang hari di
jalan teuku umar sedang
ramai-ramainya, lokasi yang lebih dikenal dengan sebutan Pasar Tua Palu itu memang
selalu didera kemacetan, terlebih di pagi hingga siang hari saat jam-jam
pengunjung berbelanja. Namun
siang itu bukan kemacetan yang menarik perhatianku, akan tetapi keberadaan dokar-dokar di daerah tersebut.
Menurut
penuturan sais yang kutemui kemudian ku ketahui keberadaan dokar di lokasi ini
sudah sangat lama, katanya mungkin sepanjang sejarah kota Palu. Di beberapa
daerah kereta kuda ini
mendapat julukan yang berbeda-beda,
seperti andong, dokar, atau delman. Sementara di kota Palu dalam dialek lokal
masyarakat menyebutnya doka.
Di sela-sela kesibukan
pasar siang itu, terlihat sosok seorang pria paruh baya
sedang asyik mengipasi tubuhnya
yang berpeluh. Ya, siang itu udara
terasa sangat panas.
Tak lama kemudian
kuketahui namanya adalah Ikhsan , usianya 31 tahun, ia sudah menjalani profesi
sebagai sais dokar sejak dua puluh tiga tahun lalu.
Pria
lulusan sekolah menengah pertama ini, bertempat tinggal di Kampung Baru. Ia
telah dikaruniai dua orang anak
yang sedang mengenyam pendidikan sekolah dasar. Sehari-harinya, Ikhsan yang
akrab di sapa Ican ini selain bekerja sebagai sais dokar juga menggeluti
pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek. Namun ia lebih menikmati pekerjaannya sebagai sais dokar, selain karena alasan telah
lama menggelutinya juga karena penghasilannya lebih besar. Sebagai sais dalam seharinya, Ia dapat
menghasilkan empat puluh sampai lima puluh ribu rupiah.
Ican
tidak mematok tarif khusus kepada penumpangnya, semua tarif di negosiasikan
kepada penumpangnya disesuaikan dengan jarak tempuh dan kemampuan calon
penumpang. ”
Saya tidak mematok tarif khusus kepada penumpang, bagi saya asal sudah cukup
untuk makan sehari-hari saya
sangat bersyukur”
ujarnya.
Meski
hanya berprofesi sebagai sais dokar dan hanya menjalani pendidikan sampai SMP,
namun dirinya sangat peduli pada pendidikan anak-anaknya. “ Yang
terpenting bagi saya
adalah pendidikan anak-anak,
bagaimanapun mereka harus bisa bersekolah setinggi-tingginya supaya nantinya bisa
merubah hidup keluarga lebih baik, karena pendidikan itu sangat penting, saya
ingin anak-anak kelak berguna bagi bangsa dan negaranya. Biar pun harus
berhutang, saya rela demi anak-anak”, tambahya.
Dokar beserta
kuda penariknya yang dimilikinya saat ini merupakan warisan dari ayahnya. Kuda
itu dirawatnya dengan baik, diberinya makan tiga kali sehari berupa dedak
batang jagung, ampas tomat, dan ampas tahu. Bahkan seminggu tiga kali ia memandikan
kuda kesayangannya itu. Hal
ini sudah dilakukannya sejak umur delapan tahun, ia tak pernah jenuh menjalankan rutinitas ini. Dirinya telah
benar-benar cinta dengan pekerjaannya sebagai sais dokar.
Saat
ini, keberadaan dokar di kota Palu semakin terpinggirkan, dengan adanya program
pemkot tentang kebersihan dan keindahan kota areal kerja dokar kian sempit karena hanya boleh beroperasi di beberapa titik
saja yaitu dipasar tradisional Masomba, Pasar Tua, dan Pasar Manonda. Karenanya
para sais dokar ini harus bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya.
Meskipun
demikian ia tak pernah berpikir untuk berhenti menjadi sais dokar. “Selama
masyarakat kota palu masih menginginkan keberadaan kami, dokar harus tetap di
lestarikan walaupun harus menghadapi zaman yang terus berubah,” ujar pria paruh
baya itu setengah lantang. (R2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA