Cari Blog Ini

Selasa, 23 Oktober 2012

POLEMIK DALAM PEMILIHAN UMUM

Coba bayangkan keadaan Negara kita saat ini begitu rumit dan penuh dengan kesimpang siuran dalam tatananan kepemerintahan, mulai dari system pemerintahan yang notabenenya menganut system presidensial tapi peraktek yang ditimbulkan adalah pemerintahan parlementer, salah satu cirinya adalah memiliki banyak partai, sedangkan yang kita ketahui sendiri adalah system pemerintahan presidensial itu hanya memiliki dua partai. Ketika praktek parlemeter ini secara tidak sadar diberlakukan tentunya banyak hal yang dirugikan baik itu masyarakat dan Negara.
Bayangkan saja setelah pemilu usai, politisi melakukan transaksi jual-beli suara, KPU menyulap hasil suara. Caranya dengan memindahkan sejumlah suara kepada kandidat
tertentu, terutama dari partai atau calon legislatif peserta pemilu yang tak memiliki saksi sejak tingkat TPS. Pemindahan atau penggelembungan suara partai atau calon legislatif memiliki banderol harga. Suara pemilih seenaknya diperjual-belikan. Calon dengan suara minim digelembungkan. Dalam iklim politik yang demikian, kita sedang mencari dan memilih pemimpin formal. Maka, pertanyaannya adalah: pemimpin formal macam apa yang bisa kita dapat dalam iklim seperti itu? Jika pemimpin diperoleh dalam cuaca politik seperti di atas maka harapan untuk membangun suatu kepemimpinan yang kuat dan bermartabat semakin tipis bahkan lenyap.
Di sisi lain, kita juga menemukan pemimpin informal yang muncul di berbagai kelas sosial. Namun, banyak diantara kepemimpinan mereka yang terbentuk atas dasar supremasi etnisitas, agama, dan golongan. Dukungan diperoleh karena keberhasilannya membangun sentimen dan rasa benci pendukungnya terhadap “yang-lain” dan “bukan mereka”. Kedua model pemimpin demikian sedang menguat dan mengakar di Indonesia hari ini.
Pemimpin lain yang muncul di tingkat lokal (terutama tingkat kabupaten) juga berangkat dengan pola tak jauh berbeda. Umumnya adalah para pengusaha, birokrat ataupun para jago (preman) yang memiliki banyak uang. Beberapa diantaranya disokong pendamping dari kalangan artis untuk membantu pendulangan suara. Pada tingkat ini, pemimpin-pemimpin yang muncul kebanyakan adalah figur yang menjadi tempat bergantung hidup bagi tidak sedikit orang. Merujuk studi Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord (2003), mereka layaknya para sikep di Jawa era kolonial Belanda, yakni pemilik tanah dan sawah. Warga desa non-sikep menumpang (bergantung) hidup, dengan cara bekerja di sawah/tanah para sikep, mendapat tempat tinggal di tanah sang sikep, namun tenaga kerjanya menjadi milik para sikep. Para sikep memiliki kekuasaan yang besar, karena kekuasaan monarki Mataram-Jawa tak lagi mampu menyentuh mereka yang jauh dari pusat kerajaan, plus kekuasaan kolonial yang mampu mengerdilkan. Kekuasaan para penguasa lokal hari ini pun nyaris serupa, tak bisa lagi dikontrol semaunya oleh kekuasaan pusat atau nasional.
Politik lokal hari ini memiliki kemiripan dengan pola hubungan sikep di era kolonial. Banyak orang menjadi tokoh lokal karena menjadi tempat bergantung hidup bagi banyak orang lainnya. Hubungan-hubungan inilah yang menopang jalinan kekuasaan yang dibangun. Pertarungan politik lokal menjadi pertarungan antara para “sikep”. Dalam situasi seperti ini kita dihadapkan pada persoalan pencarian pemimpin dan bagaimana membangun kepemimpinan nasional. Para sikep adalah pemimpin yang berhitung atas dasar untung-rugi dan akumulasi kekayaan. Karakter ini yang juga menurun pada pemimpin lokal hari ini. Para sikep era modern ini secara politik kekuasaannya jauh dari jangkauan kekuasaan pusat (presiden), karena juga dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang membuatnya punya legitimasi dukungan rakyat. Tak sedikit dari mereka yang mengeluarkan aturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya, bahkan bertentangan dengan konstitusi. Penguasa pusat tak kuasa lagi seenaknya menindak mereka sebagaimana di era Orde Baru. Muncullah kekuasaan lokal yang menguat, dan parahnya dipimpin para medioker.
Kalau merujuk studi klasik Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), ada dua jenis kepemimpinan yang muncul di era pergerakan nasional dan pasca revolusi, yakni “administrator” dan “solidarity maker”. Para “administrators” meyakini bahwa kemampuan untuk mencapai kekuasaan haruslah didasarkan pada keahlian teknis, dan juga status melalui pencapaian atas penguasaan terhadap kemampuan teknis atau biasa disebut mencapai kepakaran. Para administrators menilai bahwa posisi kepemimpinan haruslah berada di tangan orang-orang seperti mereka, baik di dalam birokrasi sipil, militer, dan partai-partai politik. Menjabat atas dasar kemampuan pemikiran atau ide, sebagaimana pernah dikembangkan oleh kolonialisme sebagai bagian dari upaya rasionalisasi, yaitu kaum terdidiklah yang memiliki hak untuk memerintah.
Ditambahkan juga bahwa martabat sosial haruslah merujuk pada pertimbangan serupa, yakni bagi mereka-mereka yang memiliki kualifikasi akademis, keahlian professional dan juga pengetahuan atau pengalaman seseorang dengan budaya dan dunia intelektual, yang kemudian melahirkan intelektual kepemimpinan dan berpegang teguh pada pancasila berladaskan untuk kemaslahatan rakyatnya. R.R

Ditulis Oleh : Wajah Ketimuran ~ Berbagi Untuk Belajar,Belajar Untuk Berbagi

Artikel POLEMIK DALAM PEMILIHAN UMUM ini diposting oleh Wajah Ketimuran pada hari Selasa, 23 Oktober 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: Get this widget ! ::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA

Klik Show Untuk Mendengarkan lagu Muara kasih Bunda (Vokal: ery Susan)
LIRIK LAGU: Vokal: ERY SUSAN MUARA KASIH BUNDA Bunda Engkaulah muara kasih dan sayang Apapun pasti kau lakukan Demi anakmu yang tersayang Bunda Tak pernah kau berharap budi balasan Atas apa yang kau lakukan Untuk diriku yang kau sayang Saat diriku dekat dalam sentuhan Peluk kasihmu dan sayang Saat ku jauh dari jangkauan Doa mu kau sertakan Reff: Maafkan diriku bunda Kadang tak sengaja ku membuat remah hatimu terluka Kuingin kau tahu bunda Betapa kumencintaimu lebih dari segalanya * Kumohon restu dalam langkahku Bahagiaku seiring doamu Bunda Tak pernah kau berharap budi balasan Atas apa yang kau lakukan Untuk diriku yang kau sayang Saat diriku dekat dalam sentuhan Peluk kasihmu dan sayang Saat ku jauh dari jangkauan Doa mu kau sertakan Reff: Maafkan diriku bunda Kadang tak sengaja ku membuat remah hatimu terluka Kuingin kau tahu bunda Betapa kumencintaimu lebih dari segalanya * Kumohon restu dalam langkahku Bahagiaku seiring doamu Bunda Engkaulah muara kasih dan sayang Apapun pasti kau lakukan Demi anakmu yang tersayang
Photobucket

RAHMAHRAHMUDIN
wajah-ketimuran.blogspot.com

Move your mouse to go back to the page!
Gerakkan mouse anda dan silahkan nikmati kembali posting kami!

Copyright * Feb 2012 * gubhugreyot.blogspot.com - All rights reserved